Burung Kumkum Papua nama bahasa ilmiahnya adalah Pinon Imperial Pigeon (Ducula pinon). Burung ini hidup di hutan dataran rendah dan perbukitan di sebagian
besar daratan Papua dan pulau-pulau sekitarnya. Burung ini berwarna abu-abu,
mata merah dan ekornya ada garis putih mendatar yang cukup jelas jika dilihat
dari kejauhan. Burung kumkum suka makan buah sehingga dalam ekosistem hutan
hujan tropis, burung ini memegang peranan yang sangat penting sebagai penyebar
benih (seed disperser).
Burung Kumkum di hutan hujan tropis Papua Barat
Di Tanah Papua sendiri, burung kumkum sering diburu orang karena memiliki
daging yang banyak. Oleh karena itu, jika hewan buruan seperti babi hutan, dan
rusa tidak diperoleh maka kumkum menjadi sumber protein alternatif terutama di
kalangan masyarakat tradisional yang hidup tidak jauh dari hutan. Pertama kali
saya memotret burung kumkum adalah sekitar tahun 2012, ketika saya memandu
seorang wisatawan Inggris di hutan dataran rendah Manokwari dekat Kali Dopi.
Saat itu burung tersebut sedang duduk beristirahat di sebuah cabang pohon kira-kira15 meter dari permukaan tanah. Saya membawa kamera Nikon Coolpix P500 yang memiliki optical zoom sebesar 36x. Dengan mudah saya memotretnya beberapa kali. Dalam berbagai kesempatan lain ketika saya memandu wisatawan di beberapa kawasan hutan di Manokwari, Pegunungan Arfak, Pegunungan Tambrauw, Lembah Klasow maupun di Pulau Waigeo Raja Ampat, saya sering melihat burung kumkum tersebut. Foto burung kumkum di atas, saya buat ketika berada di hutan Sorong. Karena suaranya tidak terlalu merdu, jika dibandingkan dengan burung Jagal Papua, Cucak Timor, Melidektes Vogelkop, atau Murai Batu, maka burung ini tidak dianggap sebagai target koleksi yang terpenting di antara para kolektor burung berkicau.
Sebagai seorang pemandu wisata, saya sering mengantar wisatawan ke hutan. Kami biasanya menginap di dalam hutan selama 3 sampai 5 hari di satu tempat
kemudian melanjutkan perjalanan ke hutan lain untuk durasi menginap yang relatif
sama.
Di dalam hutan, tidak ada hotel mewah. Yang ada adalah base-camp sederhana dibangun khusus untuk wisatawan pengamat burung dan satwa liar. Sejumlah desa memiliki rumah penginapan milik warga (homestay) dan rumah tamu (guesthouse) dengan fasilitas seadanya. Kebanyakan memiliki kasur, kelambu, serta toilet dan kamar mandi. Untuk penerangan di malam hari, senter atau rechargeable lamp bisa digunakan. Ada beberapa penginapan milik warga yang sudah memiliki genset atau solar panel sendiri. Namun jumlahnya masih sedikit dan hanya terbatas di 1 atau 2 kampung saja.
Agar wisatawan bisa tidur dengan nyaman, saya dan orang-orang kampung
membawa tenda-tenda dome, terpal, serta peralatan masak dan makan-minum. Lokasi
perkemahan biasanya kami bangun di pinggir kali. Ada beberapa gubuk yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap yang terbuat dari terpal plastik. Di dalam tenda dome, saya sediakan matrass yang cukup empuk dengan bantal. Lokasi berkemah yang cukup populer adalah Hutan Susnguakti.
Burung Wompoo Fruit Dove di Pegunungan TambrauwAgar pengalaman berwisata di hutan lebih bervariasi dan menyenangkan maka saya membawa sejumlah peralatan seperti teropong dua tabung atau kijker (binoculars), spotting scope (teropong 1 tabung lensa yang dipasang di tripod, serta laser pointer.
Tidak hanya burung kumkum saja yang kami lihat di hutan. Ada banyak burung lain yang
bisa dilihat pula. Beberapa di antaranya adalah: Raja Udang Surga Umum atau disebut juga Cekakak Pita Biasa (Common
Paradise Kingfisher), Cendrawasih Kuning Kecil (Lesser Birds of Paradise), Raja
Udang Paruh Kuning (Yellow-billed Kingfisher), Burung Taun-taun (Blyth's
Hornbill) serta Burung Jagal Papua (Hooded Butherbird). Agar wisatawan bisa
memahami burung apa yang sedang diamati di hutan, saya membawa juga buku panduan
lapangan yang berjudul Birds of New Guinea karya Thane K. Pratt dan
Bruce Beehler. Alat penunjuk berupa laser pointer juga saya bawa. Namun demikian
pada saat menunjuk burung di hutan, titik laser sengaja tidak diarahkan langsung
ke burung melainkan diarahkan sekitar 2 meter di bawah atau di samping burung.
Hal ini untuk menghindari agar titik cahaya laser tidak mengenai mata burung.
Di samping aktivitas pengamatan burung yang selalu saya lakukan bersama
dengan wisatawan di hutan, saya juga memandu wisatawan di malam hari, ditemani orang kampung, untuk mencari kuskus atau hewan soa-soa. Aktivitas ekowisata di hutan ini secara langsung membantu perekonomian warga setempat yang tinggal tidak jauh dari hutan dan juga sekaligus mendukung mereka untuk melestarikan hutan mereka sendiri. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kepada pembaca agar tidak memburu burung-burung Papua untuk dipelihara di dalam sangkar. Cara terbaik untuk menikmati keindahan bulu burung dan mendengar suara kicauannya yang merdu adalah dengan datang langsung ke habitatnya. Dengan berkunjung sebagai wisatawan pengamat burung ke Papua Barat, kita membantu masyarakat melindungi satwa burung di hutan sekaligus membantu perekonomian masyarakat.
Jika masyarakat setempat mendapatkan manfaat ekonomi yang positif dari ekowisata pengamatan burung di hutan maka mereka dengan senang hati akan menjaga hutan hujan tropis yang ada di daerah mereka. Ditulis oleh Charles Roring
Kumkum Hijau Pipi Abu-abu di Desa Tounelet, Kecamatab Sonder, Minahasa, Sulawesi Utara